Bromo

Bromo
Bromo

Sabtu, 24 Oktober 2020

PEMBELAJARAN GIFTED AND TALENTED

ANALISIS BUKU

 PERBEDAAN PEMBELAJARAN DAN KEBUTUHAN PEMBELAJARAN

I.  PENDAHULUAN

 

Pikirkan pengalaman belajar yang kita miliki ketika menjadi siswa dulu, yang menuntut untuk bekerja sama dengan siswa-siswa lain. Atau pengalaman kerja kita masing-masing yang menuntut kerja sama dalam tim. Pengalaman tersebut mungkin cukup berkesan walaupun tidak dilakukan terus menerus. Dan pengalaman kerja sama memberikan kita pembelajaran yang berharga tentang bagaimana sebuah pekerjaan harus diselesaikan bersama-sama.

Belajar Kooperatif adalah sebuah metode pembelajaran yang ditujukan untuk membantu siswa mempelajari konten akademis dan berbagai keterampilan untuk mencapai berbagai sasaran dan tujuan sosial dan hubungan antar manusia yang penting. Kooperatif dapat berarti berpartisipasi aktif baik secara intelektual dan emosional dalam proses belajar atau terjadinya interaksi yang membutuhkan kesiapan metal, fisik,materi dan komunikasi secara aktif baik dengan dosen, sesama rekan serta sumber belajar untuk memecahkan berbagai masalah.

Struktur tujuan sebuah pelajaran mengacu pada banyaknya interdependensi yang dibutuhkan siswa ketika mereka melaksanakan tugasnya. Struktur tujuan dapat bersifat :

1.      Individualistik, bila pencapaian tujuan instruksional tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain dan tidak berhubungan dengan seberapa baik prestasi orang lain.

2.      Struktur tujuan kompetitif terjadi bila siswa mempersepsi bahwa mereka dapat mencapai tujuan bila siswa-siswa lain gagal mencapainya

3.    Struktur tujuan kooperatif terjadi bila siswa dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa yang terkait dengannya dapat mencapai tujuan tersebut.

 

II.  PERBEDAAN PEMBELAJAR DAN KEBUTUHAN PEMBELAJARAN


1.  PERBEDAAN INDIVIDUAL

 

Perbedaan Individual dibagi atas : Inteligensi, Pemrosesan kognitif dan Gaya pembelajaran.


·           Inteligensi

Setiap anak memiliki sekumpulan talenta, kemampuan dan keterbatasan yang khas. Dalam pengertiannya bahwa anak dapat dikatan “exceptional” (luar biasa/istimewa), karena keterampilan dan kemampuan fisik, intelektual atau perilakunya yang berbeda secara substansial dari norma: lebih tinggi atau lebih rendah.
Sebagai contoh, mereka mungkin memiliki talenta dan kemampuan yang khusus, disabilitas belajar, gangguan komunikasi, gangguan emosional atau perilaku, disabilitas intelektual, disabilitas fisik, penglihatan yang terhendaya atau pendengaran yang kurang, autisme, cedera otak yang traumatik, kombinasi tertentu dari beberapa keaadaan (Hardman, Drew & Egan, 2005).

Pemberian label pada siswa cenderung lebih membantu siswa tersebut dalam perkembangannya. Sebagai contoh, misal ada anak yang memiliki disabilitas intelektual atau disabilitas kognitif, jika teman-temannya mengetahui bahwa anak tersebut menderita disabilitas intelektua maka mereka akan lebih dapat menerima perilaku dari anak tersebut. Labelisasi dapat merupakan stigma dan sekaligus membantu siswa (Hallahan, Lloyd, Kauffman, Weiss, & Martinez, 2005 : Hardman, Drew, & Egan, 2005). Tetapi bila labelisasi lebih diutamakan daripada ciri-ciri individual, maka label itu sendiri akan menjadi sebuah rintangan. Inteligensi adalah label yang digunakan secara luas dalam pendidikan dan dalam kehidupan secara umum.
Secara umum inteligensi adalah ide orang yang bervariasi dalam berbagai hal, ini merupakan stigma lama. 

Plato mendiskusikan teori awal dari sifat inteligensi antara lain adalah:

1.        kapasitas untuk belajar;

2.        pengetahuan total yang telah didapatkan seseorang;

3.        kemempuan untuk beradaptasi dengan sukses dalam situasi-situasi baru dan dalam lingkungan secara umum.

Sebagian yang lain percaya bahwa inteligensi adalah sebuah kemampuan dasar yang mempengaruhi kinerja di semua tugas yang berorientasi kognitif, mulai dari soal-soal matematika sampai menulis puisi atau menyelesaikan teka-teki. Pandangan yag saat ini diterima luas adalah inteligensi, seperti halnya konsep diri, memiliki banyak fase dan sebuah hierarki kemampuan, yang kemampuan umumnya berada di puncaknya sedangkan kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik berada di tingkat-tingkat yang lebih rendah.


·           Multiple Intelligences

Terdapat delapan inteligensi menurut Gardner,  yaitu: linguistic (verbal), musical, spasial,  logic-matematika, jasmaniah-kinestetik (gerakan), interpersonal (memahami orang lain), intrapersonal (memahami diri sendiri) dan naturalis (mengamati dan memahami pola-pola dan sistem-sistem alamiah dan buatan manusia).

Ada kemungkinan bahwa individu-individu hanya memiliki satu atau unggul diantara yang delapan, sedangkan tujuh lainnya tidak menonjol. Teori Multiple intelligences dari Gardner kurang bisa diterima di masyarakt ilmiah meskipun sudah banyak dipakai di kalangan pendidik. Beberapa pengkritik mengatakan bahwa beberapa inteligensi sebenarnya adalah talenta (kemampuan jasmaniah-kinetik, kemampuan musikal) atau ciri-ciri kepribadian (kemampuan interpersonal) dan inteligensi yang lain sama sekali bukan yang baru. Selain itu kedelapan inteligensi tersebut tidak independen; ada korelasi diantara kemampuan-kemampuan itu. 

Faktanya, inteligensi logis-matematis dan inteligensi spasial berkorelasi tinggi (Sattler, 2001). Gadner menerima kritikan tersebut dengan mengidentifikasi sejumlah mitos dan miskonsepsi tentang teori multiple intelligences dan sekolah. Multiple Intelligences sekolah, merupakan salah satu keunggulan perspektof Gardner yaitu, memperluas pemikiran tentang kemampuan dan jalur pembelajaran. Tetapi teori ini digunakan secara keliru, sebagian guru memakai versi simplistik. Mereka memasukkan semua inteligensi ke dalam setiap pelajaran tanpa memperhatikan apropriasinya.


·           Emotional Intelligence

Teori multiple intelligences dari Gardner memasukkan inteligensi intra personal dan inter personal atau inteligensi tentang diri dan orang lain. Dan perspektif yang terkait dalam hal ini adalah emotional intelligence atau kecerdasan emosional (E-IQ atau EQ).

Dalam pusat emotional intelligence terdapat empat kemampuan yang luas: mempersepsi, mengintegrasikan, memahami dan mengelola emosi (Mayer & Cobb, 2000). Bila tidak dapat mempersepsi apa yang dirasakan, bagaimana dapat membuat pilihan yang baik tentang pekerjaan, hubungan, manajemen waktu atau bahkan hiburan. Individu-individu yang dapat mempersepsi dan memahami emosi-emosi orang lain (biasanya dengan membaca isyarat-isyarat nonverbal dan merespon dengan tepat biasanya lebih sukses dalam bekerja bersama orang dan sering tampil sebagai pemimpin. kemudian mengelola emosi, terutama emosi-smosi negatif seperti marah atau depresi.

Tujuannya bukan untuk menekan perasaan, tetapi juga tidak dbuat kewalahan olehnya. Mengelola emosi termasuk kemampuan untuk memfokuskan energi, mempertahankan, mengontrol impuls-impuls, dan menunda kepuasan-segera. Manajemen emosi sangat penting di sekolah.


·           Mengukur Inteligensi

Binet dan Simon mengidentifikasikan ada 58 tes, masing-masing beberapa tes untuk setiap kelompok umur yang berkisar antara 3 sampai 13 tahun, Tes-tes Binet memungkinkan pemeriksa untuk menentukan mental age (umur mental) seorang anak. Anak yang sukses melewati pertanyaan-pertanyaan kebanyakan anak berusia 6 tahun, umur mentalnya 6 tahun, terlepas apakah umur anak tersebut sebenarnya berapa, 4,6 atau 8 tahun. Selanjutnya mental age tersebut dikenal sebagai intelligence quotient.

 

Rumusannya : Intelligence Quotient = Mental Age / Chronological Age x 100.

 

Test Stanford-Binet telah mengalami lima kali revisi, yang paling mutakhir pada 2003. Tes Stanford-Binet adalah sebuah tes inteligensi individual. Dalam tes ini dikenal deviasi nilai IQ, angka yang menunjukkan berapa tepatnya jarak nilai seseorang pada sebuah tes dari angka rata-ratanya, dibandingkan dengan orang lain di kelompok umur yang sama.

Apakah dengan diketahuinya tingkat inteligensi seseorang dapat menjadikan orang tersebut cerdas? Faktanya di sebuah enerasi nilai rata-rata di tes IQ standar naik sekitar 18 poin-berarti lebih cerdas dibandingkan orang tua. Tetapi tes-tes inteligensi tersebut dapat memprediksikan prestasi anak di sekolah dengansangat baik, paling tidak untuk kelompok-kelompok besar. Dan apakah orang yang memiliki nilai tes IQ tinggi mendapatkan lebih banyak pula dalam kehidupannya? ini yang masih belum jelas kaena banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya motivasi, keterampilan sosial, dan nasib mungkin ikut menentukan (Goleman, 1995; Neisser et al., 1996; Sternberg & Wagner, 1993).

2.  INTEGRASI DAN INKLUSI

 

·           Individual Education Program (IEP)

Program pendidikan individu adalah kesepakatan antara orang tua dan sekolah tentang pelajaran-pelajaran yang akan diberikan. Setiap orang tua dan siswa memiliki hak-hak yang tertulis di dalam kesepakatan. misalnya orang tua berhak melihat catatan yang berhubungan testing, penempatan dan pengajaran anaknya.

·           Least Restrictive Environment (LRE)

Lingkungan yang sedapat mungkin tak membatasi dalam memberikan pendikan kepada setiap anak. Seorang siswa harus merefleksikan bahwa siswa itu dididik dalam lingkungan yang sedapat mungkin tidak membatasi kebutuhan-kebutuhannya. Kemudian pendekatan yang direkomendasikan untuk mencapainya beralih dari mainstreaming (pengarusutamaan, memasukkan anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus di beberapa kelas pendidikan regular), ke integrasi (memasukkan anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus ke dalam struktur-struktur kelas yang sudah ada, yang cocok untuk mereka), lalu ke inklusi (merestrukturasikan setting pendidikan untuk membangun perasaanikut memiliki pada semua anak).

 

·           Siswa dengan disabilitas belajar

Pada tahun 2001 Department of Education Office of Special Education menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi tentag disabilitas belajar. Definisi tentang "specific learning disabilities" (disabilitas belajar spesifik) yang muncul menyebutkan: Konsep sentral SLD melibatkan gangguan-gangguan belajar dan kognisi yang intriksik bagi individu. SLD yang bersifat spesipik dalam arti bahwa gangguan-gangguan ini masing-masing memiliki pengaruh yang signifikan pada hasil-hasil akademik dan performa yang rentangnya relatif kecil. SLD dapat terjadi berkombinasi dengan kondisi-kondisi disable lainnya, tetapi bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi seperti retardasi mental, gangguan perilaku, kurangnya kesempatan belajar, defisit-defisit sensorik primer.

Disabilitas belajar spesifik adalah gangguan dalam salah satu proses psikologi dasar atau lebih yang terlibat dalam pemahaman dan penggunaan bahasa lisan atau tertulis. Mendengarkan, bicara, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan matematis mungkin berpengaruh. Gangguan ini intrinsik bagi individu yang bersangkutan, yang diduga merupakan akibat disfungsi sistem saraf pusat, dan dapat terjadi sepanjang hidup.

Siswa dengan disabilitas belajar spesifik dapat menjadi korban learned helplessness bila mereka percaya bahwa mereka tidak mampu mengontrol atau meningkatkan pembelajarannya, oleh sebab itu mereka tidak akan bisa meraih kesuksesan. Fokus pada berbagai macam strategi belajar sering dapat membantu siswa yang mengalami disabilitas belajar.


3.  PERBEDAAN KEMAMPUAN DAN PENGAJARAN

 

Pengelompokkan Antar Kelas

Bila seluruh kelas yang ada di sebuah sekolah dibentuk berdasarkan kemampuan, prosesnya disebut between-class ability grouping (pengelompokkan antar kelas berdasarkan kemampuan) atau tracking, praktik yang lazim diterapkan sekolah menengah dan sebagian sekolah dasar. Meskipun di permukaan cara ini adalah cara mengajar yang efisien, penelitian secara konsisten menunjukkan meskipun segregasi berdasarkan kemampuan mungkin menguntungkan siswa berprestasi tinggi, tetapi cara itu menimbulkan masalah bagi siswa yang berprestasi rendah.

Kelas-kelas berkemampuan rendah cenderung menerima pembelajaran dengan kualitas yang secara umum lebih rendah. Guru menekankan tujuan pembelajaran yag lebih rendah dan prosedur yang rutin, dengan fokus akademik yang kurang. Track- yang lebih rendah seringkali memiliki jumlah yang tidak proporsioal untuk siswa-siswa kelompok minoritas dan yang secara ekonomis kurang beruntung. Jadi ability grouping (pengelompokkan berdasarkan kemampuan) dapat mengakibatkan segresi di sekolah. Bahkan pertemananpun mungkin menjadi terbatas pada siswa-siswa dengan rentang kemampuan sama. Tugas-tugas kelas sering kali dibuat berdasarkan hasil Tes IQ dan bukan berdasarkan hasil tes di bidang subjek tertentu.

Baru-baru ini ada gerakan untracking, atau mengajar semua siswa di kelompok-kelompok dengan kemampuan yang bervariasi (campuran), tetapi memberikan bantuan ekstra bagi mereka yang mengalami kesulitan dan pengayaan bagi mereka yang belajar lebih cepat.

Dari dua kondisi di atas dapat dikatakan bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil apakah dengan strategi tracking atau untracking bergantung pada bagaimana tujuan yang akan digulirkan, karena masing-masing strategi memiliki keunggulan dan kelemahan.

Ada sebagian yang berpendapat bahwa metode untracking dapat merugikan siswa, seperti jika tracking dieliminasi akan mematikan siswa-siswa yang memiliki track tinggi. Ada yang mengidentifikasikan bahwa jika siswa dengan track yang rendah ditempatkan di kelas-kelas heterogen dan bukan di kelas dengan track rendah pula, maka mereka akan mengalami penurunan prestasi, mereka akan kehilangan 2 poin persentase prestasinya jika ditempatkan di kelas yang heterogen.

Sebaiknya pengelompokkan kelas ini berdasarkan kebutuhan belajarnya, yang disebut pengelompokkan fleksibel. Asesmen dilakukan terus menerus sehingga siswa selalu bekerja dalam zona perkembangan proksimalnya. Pendekatan pengelompokkan fleksibel sering mencakup pembelajaran tingkat-tinggi dan ekspektasi tinggi untuk semua siswa, apapun penempatan kelompoknya.

Cara penggunaan pengelompokkan fleksibel lainnya adalah nongraded elementary school. Siswa dengan beberapa tingkat umur (misalnya, 6, 7, dan 8 tahun) disatukan dalam satu kelas, tetapi mereka dikelompokkan secara fleksibel di kelas itu untuk pembelajaran berdasarkan prestasi, motivasi, dan minat dalam subjek-subjek yang berbeda. Tetapi ini bekerja di tingkat menantang, dan dapat dikuasai dengan usaha dan dukungan, yang paling berperan adalah mendorong belajar dan motivasinya.

 

Ciri-ciri siswa gifted dan talented diantaranya adalah:

1.        Dapat belajar dengan mudah dan cepat dan menyimpan apa yang telah mereka pelajari;

2.        Menggunakan common sense dan pengetahuan praktis,

3.        Tahu banyak hal yang tidak diketahui anak-anak lain,

4.        Menggunakan kata-kata dalam jumlah besar dengan mudah dan akurat,

5.        Mengenal berbagai macam hubungan dan memahami maknanya,

6.        Waspada dan pengamat yang tajam serta merespon dengan cepat,

7.        Persisten dan sangat termotivasi di berbagai tugas, dan

8.        Kreatif atau membuat koneksi-koneksi yang menarik.

          Siswa gifted adalah siswa-siswa yang cerdas, kreatif dan berbakat.


Metode untuk mengajar siswa gifted seharusnya mendorong mereka ke arah pemikiran abstrak (pemikiran operasional-formal), kreativitas, membaca teks-teks asli tingkat tinggi, dan kemandirian, bukan hanya mempelajari fakta-fakta dengan kuantitas yang lebih besar. Salah satu metode yang cocok untuk untuk siswa-siswa ini adalah metode cooperative learning (pembelajaran kooperatif) di kelompok kemampuan campuran.


III.   ANALISIS

 

Allah SWT membekali manusia dengan emosi yang bisa membantu kedua jenis mahluk itu memelihara kehidupan dan kelestariannya. Perasaan takut misalnya, mendorong kita untuk menghindari bahaya yang mengancam kehidupan kita. Dalam Al-Quran terdapat uraian yang tepat tentang berbagai emosi yang dirasakan manusia, seperti rasa takut, marah, cinta, gembira, benci, cemburu, dengki, menyesal, malu, dan hina. Pengendalian emosi dalam Al-Qur’an terdapat pada Qs. Al-Hadid/57 ayat 22-23
Yang artinya:

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

METODE BELAJAR MENURUT AL-QUR’AN

 

Manusia belajar dengan berbagai metode pembelajaran. Adakala mereka belajar dengan cara meniru terutama dari kedua orangtuanya, dan dari orangtuanya itulah mereka mempelajari pola tingkah laku dan kebiasaan. Selain itu belajar dapat melalui pengalaman praktis atau trial dan error. Manusia banyak belajar tentang cara-cara pemecahan masalah kehidupan dan segala sesuatu yang berguna baginya. Dan kadang-kadang manusia belajar melalui pemikiran dan pembuktian rasional.

 

·           Meniru

Manusia pada periode pertama dari kehidupannya mempelajari tingkah laku dan kebiasaannya dengan cara meniru dari kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya atau dengan orang yang terdekat dengan perkembangannya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bagaimana pola belajar dengan cara meniru, yaitu pada Qs. Al-Maidah/5 ayat 31,

 

Yang artinya:

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

 

·           Pengalaman praktis / Trial and Error

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menganjurkan manusia untuk mengadakan perjalanan di muka bumi,melakukan pengamatan, dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di Alam semesta. Begitu juga Rasulullah Saw pun telah mengajarkan pentingnya belajar berdasarkan dari pengalaman praktis dalam kehidupan. Misalnya Hadis dari Thalha ibn ‘Abdullah, ia berkata “ Aku pernah bersama Rasul Allah Saw lewat pada suatu kaum yang berada di atas pohon kurma. Rasul betanya, “Apa yang sedang mereka lakukan?” Para sahabat menjawab, “mereka sedang mengawinkannya, (yaitu) meletakkan yang jantan kepada yang betina, sehingga terjadi perkawinan”. Dan Rasul bersabda “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” Dan di dalam Al-Qur’an dituangkan dalam Qs. Ar-Rum/30 ayat 7,

 

Yang artinya :

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”

 

·           Berpikir

Manusia juga belajar dengan berpikir. Dengan berpikir manusia mempelajari solusi-solusi baru bagi masalah yang sedang dihadapinya, dan dapat menemukan hubungan antar berbagai hal dan peristiwa, dapat menciptakan prinsip dan teori-teori baru, serta dapat memperoleh petunjuk bagi kreasi dan penemuan-penemuan baru. Diskusi, dialog, dan bimbingan para ahli dapat membantu dalam memperjelas pemikiran, sehingga diperoleh petunjuk untuk mendapatkan kebenaran, dan menemukan jalan keluar yang yang tepat bagi persoalan yang dibahas.

Dalam Al-Qur’an mengemukakan dalil-dalil dan bukti-bukti rasional untuk menyadarkan pemikiran manusia dan untuk mendorong manusia untuk berpikir dan merenung tentang kekuasaan Allah, serta mengarahkannya pada pembuktian adanya Allah, berdasarkan keindahan ciptaannya. Seperti pada Qs. Qaf/50 ayat 6-10,

 

Yang artinya :

“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketaman pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun”.

 

·           Pembelajaran Kooperatif

Sesuai dengan namanya, model Belajar Kooperatif ditandai dengan struktur tugasstruktur tujuan dan struktur imbalan yang kooperatif. Siswa dalam situasi kooperatif didorong dan/atau dituntut untuk mengerjakan suatu tugas yang sama secara bersama-sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya agar dapat menyelesaikan tugas tersebut. Disamping itu, dalam belajar kooperatif dua individu atau lebih saling bergantung (interdependen) untuk mendapatkan imbalan yang akan mereka bagi, bila mereka sukses sebagai kelompok.

Pembelajaran yang menggunakan pendekatan belajar kooperatif dapat ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut (Arends, 2008) :

1.       Siswa bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan

2.       Tim-tim itu terdiri atas siswa-siswa yang berprestasi rendah, sedang dan tinggi

3.       Bilamana mungkin, tim-tim itu merupakan campuran atas ras, budaya dan gender yang berbeda

4.       Sistem imbalannya berorientasi pada kelompok maupun individu.


Jhonson (2002) juga mengemukakan strategi kerja kelompok Menurutnya, aturan-aturan kerja kelompok menyarankan berbagai pilihan dan tanggung jawab dalam menghadapi anggota kelompok :

1.       Tetap fokus pada tugas kelompok

2.       Bekerja secara kooperatif dengan para anggota kelompok lainnya

3.       Mencapai keputusan kelompok untuk setiap masalah

4.       Meyakinkan bahwa setiap orang dalam kelompok memahami setiap solusi yang ada sebelum melangkah lebih jauh

5.       Mendengarkan ide-ide orang lain dengan saksama dan mencoba memanfaatkan ide-ide mereka

6.       Berbagi kepemimpinan dalam kelompok

7.       Memastikan setiap orang ikut berpartisipasi dan tidak ada salah seorang yang mendominasi kelompok

8.       Bergiliran mencatat hasil-hasil yang telah dicapai kelompok.

 

Hasil yang diperoleh dari Model Belajar Kooperatif.

Slavin (1996, dalam Learning To Teach, 2007) salah seorang pencetus belajar kooperatif percaya bahwa fokus kelompok pada belajar kooperatif dapat mengubah norma-norma dalam budaya anak muda dan membuat prestasi tinggi dalam tugas-tugas belajar akademis lebih dapat diterima. Selain mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi, belajar kooperatif dapat menguntungkan siswa baik yang berprestasi tinggi maupun rendah yang mengerjakan tugas akademik bersama-sama. Mereka yang berprestasi tinggi mendapat kesempatan mengajari teman-temannya yang berprestasi lebih rendah.

Efek penting selanjutnya dari belajar kooperatif adalah toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial atau kemampuannya. Menurut Allport (1954, dalam Learning To Teach, 2007) lebih dari setengah abad yang lalu diketahui bahwa kontak fisik antara kelompok-kelompok ras atau etnik yang berbeda atau diantara anak-anak berkebutuhan khusus semata tidak cukup untuka mengurangi prasangka dan stereotype. 

Belajar kooperatif memberikan kesempatan kepada siswa-siswa dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda untuk bekerja secara interdependen pada tugas yang sama dan melalui penggunaan struktur imbalan kooperatif, belajar untuk saling menghargai.

Tujuan ketiga yang penting adalah mengajarkan keterampilan kolaborasi dan kerja sama kepada siswa. Keterampilan-keterampilan semacam ini kritis di masyarakat dimana banyak pekerjaan orang dewasa dilaksanakan dalam kerangka organisasi dan komunitas yang semakin besar dan interdependen dengan orientasi yang semakin beragam secara cultural dan semakin global. Belajar kooperatif meningkatkan kerja sama karena menghargai dan mendukung perkembangan intelegensi personal.

Enam fase atau langkah utama yang terlibat dalam pembelajaran yang menggunakan model belajar kooperatif adalah :

1.    Pembelajaran dimulai dengan guru membahas tujuan-tujuan pelajaran dan membangkitkan motivasi belajar siswa

2.       Fase ini diiikuti oleh presentasi informasi, seringkali dalam bentuk teks daripada ceramah

3.       Siswa kemudian diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok belajar

4.    Dalam langkah berikutnya siswa dibantu guru, bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas interdependen

5.     Fase-fase terakhir belajar kooperatif termasuk presentasi hasil akhir kelompok atau menguji segala sesuatu yang sudah dipelajari siswa

6.       Memberi pengakuan pada usaha kelompok maupun individu.

 

 

Cooperative Learning has 5 basic elements (Wikipedia) :

 

1.   Positive Interdependence requires that group members feel connected to each other in the process of accomplishing the goal

(Saling ketergantungan positif mengharuskan anggota kelompok merasa terhubung satu sama lain dalam proses mencapai tujuan)

Positive Interdependence encompasses 9 sub-categories:

a.      goal - the expected outcome of the activity

(Tujuan dengan hasil yang diharapkan dari aktivitas)

b.      incentive; the reason the group wishes to complete the task

(Insentif ; alasan kelompok ingin menyelesaikan tugas)

c.       resource; the tools needed to complete the task

(Sumber ; alat yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas)

d.      role; roles assigned to students to ensure each person contributes

(Wewenang ; peran yang diberikan kepada siswa untuk memastikan setiap orang berkontribusi)

e.       sequence; steps to completing the task

(Urutan ; langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas)

f.        simulation; the alternative mindset needed to complete the goal

(Simulasi ; pola pikir alternatif yang diperlukan untuk menyelesaikan tujuan)

g.      outside force; something limiting the time or used as a driving force

(Kekuatan luar ; sesuatu yang membatasi waktu atau digunakan sebagai penggerak)

h.      environmental; that every group member is in close proximity to one another

(Lingkungan ; bahwa setiap anggota kelompok berada dekat satu sama lain)

i.        identity; that the group feels connected in one team.

(Identitas ; bahwa grup merasa terhubung dalam satu tim)

2.      face-to-face promotive interaction

 

3.      individual and group accountability

 

4.      social skills

 

5.      group processing


IV. KESIMPULAN



Siswa merupakan suatu individu yang bervariasi dengan berbagai tingkat kecerdasan dan kemampuan. Perbedaan metode pembelajarqn adalah baik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa. Kaena masing-masing siswa itu sendir banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya; bisa dari faktor keluarga, lingkungan, atau bahkan faktor genetik dan sensorik motorik dari individu-individu tersebut. Oleh sebab itu para pendidik sebaiknya cerdas dalam memilih metode dan melihat siswa dari berbagai segi terutama kebutuhan belajar siswa.

Prestasi dapat ditentukan dari prosesnya, bila proses yang dilakukan tepat dan benar maka prestasi akan meningkat bila dilakukan dengan tidak benar maka akan terjadi penurunan. Penentuan proses apakah yang harus dilakukan oleh mereka, itu merupakan tanggung jawab dan tugas bagi para guru dan pendidik.


V.   DAFTAR PUSTAKA

 

Anita Woolfolk. 2009. Educational Psychology : Active Learning Edition. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Edisi kesepuluh. Cetakan pertama.

 

Made Wena. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Edisi pertama, cetakan kedua.

 

Muhammad Muhyidin. 2005. Kecerdasan Jiwa : Rahasia memahami dan Maengobati Sakit dalam Jiwa. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media. Cetakan kedua.

 

Muhammad Usman Najati. 2001. Al-Qur’an dan Psikologi. Jakarta. Aras Pustaka. Cetakan pertama.

 

Shafique Ali Khan. 2005. Filsafat Pendidikan Al-Ghazali. Bandung. CV. Pustaka Setia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY POST

PEMBELAJARAN GIFTED AND TALENTED

ANALISIS BUKU   PERBEDAAN PEMBELAJARAN DAN KEBUTUHAN PEMBELAJARAN I.   PENDAHULUAN   Pikirkan pengalaman belajar yang kita miliki ke...

POST BEFORE