ANALISIS BUKU
I. PENDAHULUAN
Pikirkan pengalaman belajar yang kita
miliki ketika menjadi siswa dulu, yang menuntut untuk bekerja sama dengan
siswa-siswa lain. Atau pengalaman kerja kita masing-masing yang menuntut kerja
sama dalam tim. Pengalaman tersebut mungkin cukup berkesan walaupun tidak
dilakukan terus menerus. Dan pengalaman kerja sama memberikan kita pembelajaran
yang berharga tentang bagaimana sebuah pekerjaan harus diselesaikan
bersama-sama.
Belajar Kooperatif adalah sebuah metode
pembelajaran yang ditujukan untuk membantu siswa mempelajari konten akademis
dan berbagai keterampilan untuk mencapai berbagai sasaran dan tujuan sosial dan
hubungan antar manusia yang penting. Kooperatif dapat berarti berpartisipasi
aktif baik secara intelektual dan emosional dalam proses belajar atau
terjadinya interaksi yang membutuhkan kesiapan metal, fisik,materi dan
komunikasi secara aktif baik dengan dosen, sesama rekan serta sumber belajar
untuk memecahkan berbagai masalah.
Struktur tujuan sebuah pelajaran mengacu
pada banyaknya interdependensi yang dibutuhkan siswa ketika mereka melaksanakan
tugasnya. Struktur tujuan dapat bersifat :
1. Individualistik, bila pencapaian tujuan
instruksional tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain dan tidak
berhubungan dengan seberapa baik prestasi orang lain.
2. Struktur tujuan kompetitif terjadi
bila siswa mempersepsi bahwa mereka dapat mencapai tujuan bila siswa-siswa lain
gagal mencapainya
3. Struktur tujuan kooperatif terjadi bila siswa dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa yang terkait dengannya dapat mencapai tujuan tersebut.
II. PERBEDAAN PEMBELAJAR DAN KEBUTUHAN
PEMBELAJARAN
1. PERBEDAAN INDIVIDUAL
Perbedaan Individual dibagi atas : Inteligensi,
Pemrosesan kognitif dan Gaya pembelajaran.
·
Inteligensi
Setiap anak memiliki sekumpulan talenta,
kemampuan dan keterbatasan yang khas. Dalam pengertiannya bahwa anak dapat
dikatan “exceptional” (luar biasa/istimewa), karena keterampilan dan
kemampuan fisik, intelektual atau perilakunya yang berbeda secara substansial
dari norma: lebih tinggi atau lebih rendah.
Sebagai contoh, mereka mungkin memiliki talenta dan kemampuan yang khusus,
disabilitas belajar, gangguan komunikasi, gangguan emosional atau perilaku, disabilitas
intelektual, disabilitas fisik, penglihatan yang terhendaya atau pendengaran
yang kurang, autisme, cedera otak yang traumatik, kombinasi tertentu dari
beberapa keaadaan (Hardman, Drew & Egan, 2005).
Pemberian label pada siswa cenderung lebih
membantu siswa tersebut dalam perkembangannya. Sebagai contoh, misal ada anak
yang memiliki disabilitas intelektual atau disabilitas kognitif, jika
teman-temannya mengetahui bahwa anak tersebut menderita disabilitas intelektua
maka mereka akan lebih dapat menerima perilaku dari anak tersebut. Labelisasi
dapat merupakan stigma dan sekaligus membantu siswa (Hallahan, Lloyd, Kauffman,
Weiss, & Martinez, 2005 : Hardman, Drew, & Egan, 2005). Tetapi bila
labelisasi lebih diutamakan daripada ciri-ciri individual, maka label itu
sendiri akan menjadi sebuah rintangan. Inteligensi adalah label yang digunakan
secara luas dalam pendidikan dan dalam kehidupan secara umum.
Secara umum inteligensi adalah ide orang yang bervariasi dalam berbagai hal,
ini merupakan stigma lama.
Plato mendiskusikan teori awal dari sifat inteligensi
antara lain adalah:
1.
kapasitas untuk belajar;
2.
pengetahuan total yang telah didapatkan
seseorang;
3.
kemempuan untuk beradaptasi dengan sukses
dalam situasi-situasi baru dan dalam lingkungan secara umum.
Sebagian yang lain percaya bahwa
inteligensi adalah sebuah kemampuan dasar yang mempengaruhi kinerja di semua
tugas yang berorientasi kognitif, mulai dari soal-soal matematika sampai
menulis puisi atau menyelesaikan teka-teki. Pandangan yag saat ini diterima
luas adalah inteligensi, seperti halnya konsep diri, memiliki banyak fase dan
sebuah hierarki kemampuan, yang kemampuan umumnya berada di puncaknya sedangkan
kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik berada di tingkat-tingkat yang lebih
rendah.
·
Multiple Intelligences
Terdapat delapan inteligensi menurut Gardner,
yaitu: linguistic (verbal), musical, spasial,
logic-matematika, jasmaniah-kinestetik (gerakan), interpersonal (memahami
orang lain), intrapersonal (memahami diri sendiri)
dan naturalis (mengamati dan memahami pola-pola dan sistem-sistem
alamiah dan buatan manusia).
Ada kemungkinan bahwa individu-individu
hanya memiliki satu atau unggul diantara yang delapan, sedangkan tujuh lainnya
tidak menonjol. Teori Multiple intelligences dari Gardner kurang bisa diterima
di masyarakt ilmiah meskipun sudah banyak dipakai di kalangan pendidik.
Beberapa pengkritik mengatakan bahwa beberapa inteligensi sebenarnya adalah
talenta (kemampuan jasmaniah-kinetik, kemampuan musikal) atau ciri-ciri
kepribadian (kemampuan interpersonal) dan inteligensi yang lain sama sekali
bukan yang baru. Selain itu kedelapan inteligensi tersebut tidak independen; ada
korelasi diantara kemampuan-kemampuan itu.
Faktanya, inteligensi logis-matematis dan
inteligensi spasial berkorelasi tinggi (Sattler, 2001). Gadner menerima
kritikan tersebut dengan mengidentifikasi sejumlah mitos dan miskonsepsi
tentang teori multiple intelligences dan sekolah. Multiple Intelligences
sekolah, merupakan salah satu keunggulan perspektof Gardner yaitu, memperluas
pemikiran tentang kemampuan dan jalur pembelajaran. Tetapi teori ini digunakan
secara keliru, sebagian guru memakai versi simplistik. Mereka memasukkan semua
inteligensi ke dalam setiap pelajaran tanpa memperhatikan apropriasinya.
·
Emotional Intelligence
Teori multiple intelligences dari Gardner
memasukkan inteligensi intra personal dan inter personal atau inteligensi
tentang diri dan orang lain. Dan perspektif yang terkait dalam hal ini adalah
emotional intelligence atau kecerdasan emosional (E-IQ atau EQ).
Dalam pusat emotional intelligence
terdapat empat kemampuan yang luas: mempersepsi, mengintegrasikan, memahami dan
mengelola emosi (Mayer & Cobb, 2000). Bila tidak dapat mempersepsi apa yang
dirasakan, bagaimana dapat membuat pilihan yang baik tentang pekerjaan,
hubungan, manajemen waktu atau bahkan hiburan. Individu-individu yang dapat
mempersepsi dan memahami emosi-emosi orang lain (biasanya dengan membaca
isyarat-isyarat nonverbal dan merespon dengan tepat biasanya lebih sukses dalam
bekerja bersama orang dan sering tampil sebagai pemimpin. kemudian mengelola
emosi, terutama emosi-smosi negatif seperti marah atau depresi.
Tujuannya bukan untuk menekan perasaan,
tetapi juga tidak dbuat kewalahan olehnya. Mengelola emosi termasuk kemampuan
untuk memfokuskan energi, mempertahankan, mengontrol impuls-impuls, dan menunda
kepuasan-segera. Manajemen emosi sangat penting di sekolah.
·
Mengukur Inteligensi
Binet dan Simon mengidentifikasikan ada 58
tes, masing-masing beberapa tes untuk setiap kelompok umur yang berkisar antara
3 sampai 13 tahun, Tes-tes Binet memungkinkan pemeriksa untuk menentukan mental
age (umur mental) seorang anak. Anak yang sukses melewati pertanyaan-pertanyaan
kebanyakan anak berusia 6 tahun, umur mentalnya 6 tahun, terlepas apakah umur
anak tersebut sebenarnya berapa, 4,6 atau 8 tahun. Selanjutnya mental age
tersebut dikenal sebagai intelligence quotient.
Rumusannya : Intelligence Quotient = Mental
Age / Chronological Age x 100.
Test Stanford-Binet telah mengalami lima
kali revisi, yang paling mutakhir pada 2003. Tes Stanford-Binet adalah sebuah
tes inteligensi individual. Dalam tes ini dikenal deviasi nilai IQ, angka yang
menunjukkan berapa tepatnya jarak nilai seseorang pada sebuah tes dari angka
rata-ratanya, dibandingkan dengan orang lain di kelompok umur yang sama.
Apakah dengan diketahuinya tingkat
inteligensi seseorang dapat menjadikan orang tersebut cerdas? Faktanya di
sebuah enerasi nilai rata-rata di tes IQ standar naik sekitar 18 poin-berarti
lebih cerdas dibandingkan orang tua. Tetapi tes-tes inteligensi tersebut dapat
memprediksikan prestasi anak di sekolah dengansangat baik, paling tidak untuk
kelompok-kelompok besar. Dan apakah orang yang memiliki nilai tes IQ tinggi
mendapatkan lebih banyak pula dalam kehidupannya? ini yang masih belum jelas
kaena banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya motivasi, keterampilan sosial,
dan nasib mungkin ikut menentukan (Goleman, 1995; Neisser et al., 1996;
Sternberg & Wagner, 1993).
2. INTEGRASI DAN INKLUSI
·
Individual Education Program (IEP)
Program pendidikan individu adalah
kesepakatan antara orang tua dan sekolah tentang pelajaran-pelajaran yang akan
diberikan. Setiap orang tua dan siswa memiliki hak-hak yang tertulis di dalam
kesepakatan. misalnya orang tua berhak melihat catatan yang berhubungan
testing, penempatan dan pengajaran anaknya.
·
Least Restrictive Environment (LRE)
Lingkungan yang sedapat mungkin tak
membatasi dalam memberikan pendikan kepada setiap anak. Seorang siswa harus
merefleksikan bahwa siswa itu dididik dalam lingkungan yang sedapat mungkin
tidak membatasi kebutuhan-kebutuhannya. Kemudian pendekatan yang
direkomendasikan untuk mencapainya beralih dari mainstreaming (pengarusutamaan,
memasukkan anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus di beberapa kelas
pendidikan regular), ke integrasi (memasukkan anak-anak dengan
kebutuhan-kebutuhan khusus ke dalam struktur-struktur kelas yang sudah ada,
yang cocok untuk mereka), lalu ke inklusi (merestrukturasikan setting
pendidikan untuk membangun perasaanikut memiliki pada semua anak).
·
Siswa dengan disabilitas belajar
Pada tahun 2001 Department of Education
Office of Special Education menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi tentag
disabilitas belajar. Definisi tentang "specific learning
disabilities" (disabilitas belajar spesifik) yang muncul
menyebutkan: Konsep sentral SLD melibatkan gangguan-gangguan belajar dan
kognisi yang intriksik bagi individu. SLD yang bersifat spesipik dalam arti
bahwa gangguan-gangguan ini masing-masing memiliki pengaruh yang signifikan
pada hasil-hasil akademik dan performa yang rentangnya relatif kecil. SLD dapat
terjadi berkombinasi dengan kondisi-kondisi disable lainnya, tetapi bukan
disebabkan oleh kondisi-kondisi seperti retardasi mental, gangguan perilaku,
kurangnya kesempatan belajar, defisit-defisit sensorik primer.
Disabilitas belajar spesifik adalah gangguan
dalam salah satu proses psikologi dasar atau lebih yang terlibat dalam
pemahaman dan penggunaan bahasa lisan atau tertulis. Mendengarkan, bicara,
membaca, menulis, menalar, atau kemampuan matematis mungkin berpengaruh.
Gangguan ini intrinsik bagi individu yang bersangkutan, yang diduga merupakan
akibat disfungsi sistem saraf pusat, dan dapat terjadi sepanjang hidup.
Siswa dengan disabilitas belajar spesifik
dapat menjadi korban learned helplessness bila mereka percaya bahwa mereka
tidak mampu mengontrol atau meningkatkan pembelajarannya, oleh sebab itu mereka
tidak akan bisa meraih kesuksesan. Fokus pada berbagai macam strategi belajar
sering dapat membantu siswa yang mengalami disabilitas belajar.
3. PERBEDAAN KEMAMPUAN DAN PENGAJARAN
Pengelompokkan
Antar Kelas
Bila seluruh kelas yang ada di sebuah
sekolah dibentuk berdasarkan kemampuan, prosesnya disebut between-class ability
grouping (pengelompokkan antar kelas berdasarkan kemampuan) atau tracking,
praktik yang lazim diterapkan sekolah menengah dan sebagian sekolah dasar.
Meskipun di permukaan cara ini adalah cara mengajar yang efisien, penelitian
secara konsisten menunjukkan meskipun segregasi berdasarkan kemampuan mungkin
menguntungkan siswa berprestasi tinggi, tetapi cara itu menimbulkan masalah
bagi siswa yang berprestasi rendah.
Kelas-kelas berkemampuan rendah cenderung
menerima pembelajaran dengan kualitas yang secara umum lebih rendah. Guru
menekankan tujuan pembelajaran yag lebih rendah dan prosedur yang rutin, dengan
fokus akademik yang kurang. Track- yang lebih rendah seringkali memiliki jumlah
yang tidak proporsioal untuk siswa-siswa kelompok minoritas dan yang secara
ekonomis kurang beruntung. Jadi ability grouping (pengelompokkan berdasarkan
kemampuan) dapat mengakibatkan segresi di sekolah. Bahkan pertemananpun mungkin
menjadi terbatas pada siswa-siswa dengan rentang kemampuan sama. Tugas-tugas
kelas sering kali dibuat berdasarkan hasil Tes IQ dan bukan berdasarkan hasil
tes di bidang subjek tertentu.
Baru-baru ini ada gerakan untracking, atau
mengajar semua siswa di kelompok-kelompok dengan kemampuan yang bervariasi
(campuran), tetapi memberikan bantuan ekstra bagi mereka yang mengalami
kesulitan dan pengayaan bagi mereka yang belajar lebih cepat.
Dari dua kondisi di atas dapat dikatakan
bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil apakah dengan strategi
tracking atau untracking bergantung pada bagaimana tujuan yang akan digulirkan,
karena masing-masing strategi memiliki keunggulan dan kelemahan.
Ada sebagian yang berpendapat bahwa metode
untracking dapat merugikan siswa, seperti jika tracking dieliminasi akan
mematikan siswa-siswa yang memiliki track tinggi. Ada yang mengidentifikasikan
bahwa jika siswa dengan track yang rendah ditempatkan di kelas-kelas heterogen
dan bukan di kelas dengan track rendah pula, maka mereka akan mengalami
penurunan prestasi, mereka akan kehilangan 2 poin persentase prestasinya jika
ditempatkan di kelas yang heterogen.
Sebaiknya pengelompokkan kelas ini
berdasarkan kebutuhan belajarnya, yang disebut pengelompokkan fleksibel.
Asesmen dilakukan terus menerus sehingga siswa selalu bekerja dalam zona
perkembangan proksimalnya. Pendekatan pengelompokkan fleksibel sering mencakup
pembelajaran tingkat-tinggi dan ekspektasi tinggi untuk semua siswa, apapun
penempatan kelompoknya.
Cara penggunaan pengelompokkan fleksibel
lainnya adalah nongraded elementary school. Siswa dengan beberapa tingkat umur
(misalnya, 6, 7, dan 8 tahun) disatukan dalam satu kelas, tetapi mereka
dikelompokkan secara fleksibel di kelas itu untuk pembelajaran berdasarkan
prestasi, motivasi, dan minat dalam subjek-subjek yang berbeda. Tetapi ini
bekerja di tingkat menantang, dan dapat dikuasai dengan usaha dan dukungan,
yang paling berperan adalah mendorong belajar dan motivasinya.
Ciri-ciri siswa gifted dan
talented diantaranya adalah:
1.
Dapat belajar dengan mudah dan cepat dan
menyimpan apa yang telah mereka pelajari;
2.
Menggunakan common sense dan pengetahuan
praktis,
3.
Tahu banyak hal yang tidak diketahui
anak-anak lain,
4.
Menggunakan kata-kata dalam jumlah besar
dengan mudah dan akurat,
5.
Mengenal berbagai macam hubungan dan
memahami maknanya,
6.
Waspada dan pengamat yang tajam serta
merespon dengan cepat,
7.
Persisten dan sangat termotivasi di
berbagai tugas, dan
8.
Kreatif atau membuat koneksi-koneksi yang
menarik.
Siswa gifted adalah siswa-siswa yang cerdas, kreatif dan berbakat.
Metode untuk mengajar siswa gifted
seharusnya mendorong mereka ke arah pemikiran abstrak (pemikiran
operasional-formal), kreativitas, membaca teks-teks asli tingkat tinggi, dan
kemandirian, bukan hanya mempelajari fakta-fakta dengan kuantitas yang lebih
besar. Salah satu metode yang cocok untuk untuk siswa-siswa ini adalah metode
cooperative learning (pembelajaran kooperatif) di kelompok kemampuan campuran.
III. ANALISIS
Allah SWT membekali manusia dengan emosi
yang bisa membantu kedua jenis mahluk itu memelihara kehidupan dan
kelestariannya. Perasaan takut misalnya, mendorong kita untuk menghindari
bahaya yang mengancam kehidupan kita. Dalam Al-Quran terdapat uraian yang tepat
tentang berbagai emosi yang dirasakan manusia, seperti rasa takut, marah,
cinta, gembira, benci, cemburu, dengki, menyesal, malu, dan hina. Pengendalian
emosi dalam Al-Qur’an terdapat pada Qs. Al-Hadid/57 ayat 22-23
Yang artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri.”
METODE BELAJAR MENURUT AL-QUR’AN
Manusia belajar dengan berbagai metode
pembelajaran. Adakala mereka belajar dengan cara meniru terutama dari kedua
orangtuanya, dan dari orangtuanya itulah mereka mempelajari pola tingkah laku
dan kebiasaan. Selain itu belajar dapat melalui pengalaman praktis atau trial
dan error. Manusia banyak belajar tentang cara-cara pemecahan masalah kehidupan
dan segala sesuatu yang berguna baginya. Dan kadang-kadang manusia belajar
melalui pemikiran dan pembuktian rasional.
·
Meniru
Manusia pada periode pertama dari
kehidupannya mempelajari tingkah laku dan kebiasaannya dengan cara meniru dari
kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya atau dengan orang yang terdekat dengan
perkembangannya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bagaimana pola belajar dengan cara
meniru, yaitu pada Qs. Al-Maidah/5 ayat 31,
Yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
·
Pengalaman praktis / Trial and Error
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang
menganjurkan manusia untuk mengadakan perjalanan di muka bumi,melakukan
pengamatan, dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di Alam semesta. Begitu
juga Rasulullah Saw pun telah mengajarkan pentingnya belajar berdasarkan dari
pengalaman praktis dalam kehidupan. Misalnya Hadis dari Thalha ibn ‘Abdullah,
ia berkata “ Aku pernah bersama Rasul Allah Saw lewat pada suatu kaum yang
berada di atas pohon kurma. Rasul betanya, “Apa yang sedang mereka lakukan?”
Para sahabat menjawab, “mereka sedang mengawinkannya, (yaitu) meletakkan
yang jantan kepada yang betina, sehingga terjadi perkawinan”. Dan Rasul
bersabda “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” Dan di
dalam Al-Qur’an dituangkan dalam Qs. Ar-Rum/30 ayat 7,
Yang artinya :
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
·
Berpikir
Manusia juga belajar dengan berpikir.
Dengan berpikir manusia mempelajari solusi-solusi baru bagi masalah yang sedang
dihadapinya, dan dapat menemukan hubungan antar berbagai hal dan peristiwa,
dapat menciptakan prinsip dan teori-teori baru, serta dapat memperoleh petunjuk
bagi kreasi dan penemuan-penemuan baru. Diskusi, dialog, dan bimbingan para
ahli dapat membantu dalam memperjelas pemikiran, sehingga diperoleh petunjuk
untuk mendapatkan kebenaran, dan menemukan jalan keluar yang yang tepat bagi
persoalan yang dibahas.
Dalam Al-Qur’an mengemukakan dalil-dalil
dan bukti-bukti rasional untuk menyadarkan pemikiran manusia dan untuk
mendorong manusia untuk berpikir dan merenung tentang kekuasaan Allah, serta
mengarahkannya pada pembuktian adanya Allah, berdasarkan keindahan ciptaannya.
Seperti pada Qs. Qaf/50 ayat 6-10,
Yang artinya :
“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada
di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu
tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami
letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala
macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan
bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari
langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketaman pohon kurma yang tinggi-tinggi
yang mempunyai mayang yang bersusun-susun”.
·
Pembelajaran Kooperatif
Sesuai dengan namanya, model Belajar
Kooperatif ditandai dengan struktur tugas, struktur tujuan dan struktur
imbalan yang kooperatif. Siswa dalam situasi kooperatif didorong dan/atau
dituntut untuk mengerjakan suatu tugas yang sama secara bersama-sama dan mereka
harus mengkoordinasikan usahanya agar dapat menyelesaikan tugas tersebut.
Disamping itu, dalam belajar kooperatif dua individu atau lebih saling
bergantung (interdependen) untuk mendapatkan imbalan yang akan mereka bagi,
bila mereka sukses sebagai kelompok.
Pembelajaran yang menggunakan pendekatan
belajar kooperatif dapat ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut
(Arends, 2008) :
1. Siswa bekerja dalam tim untuk mencapai
tujuan
2. Tim-tim itu terdiri atas siswa-siswa yang
berprestasi rendah, sedang dan tinggi
3. Bilamana mungkin, tim-tim itu merupakan
campuran atas ras, budaya dan gender yang berbeda
4. Sistem imbalannya berorientasi pada
kelompok maupun individu.
Jhonson (2002) juga mengemukakan strategi
kerja kelompok Menurutnya, aturan-aturan kerja kelompok menyarankan berbagai
pilihan dan tanggung jawab dalam menghadapi anggota kelompok :
1. Tetap fokus pada tugas kelompok
2. Bekerja secara kooperatif dengan para
anggota kelompok lainnya
3. Mencapai keputusan kelompok untuk setiap
masalah
4. Meyakinkan bahwa setiap orang dalam
kelompok memahami setiap solusi yang ada sebelum melangkah lebih jauh
5. Mendengarkan ide-ide orang lain dengan
saksama dan mencoba memanfaatkan ide-ide mereka
6. Berbagi kepemimpinan dalam kelompok
7. Memastikan setiap orang ikut
berpartisipasi dan tidak ada salah seorang yang mendominasi kelompok
8. Bergiliran mencatat hasil-hasil yang telah
dicapai kelompok.
Hasil yang diperoleh
dari Model Belajar Kooperatif.
Slavin (1996, dalam Learning To Teach,
2007) salah seorang pencetus belajar kooperatif percaya bahwa fokus kelompok
pada belajar kooperatif dapat mengubah norma-norma dalam budaya anak muda dan
membuat prestasi tinggi dalam tugas-tugas belajar akademis lebih dapat
diterima. Selain mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi, belajar
kooperatif dapat menguntungkan siswa baik yang berprestasi tinggi maupun rendah
yang mengerjakan tugas akademik bersama-sama. Mereka yang berprestasi tinggi
mendapat kesempatan mengajari teman-temannya yang berprestasi lebih rendah.
Efek penting selanjutnya dari belajar
kooperatif adalah toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap orang-orang
yang berbeda ras, budaya, kelas sosial atau kemampuannya. Menurut Allport
(1954, dalam Learning To Teach, 2007) lebih dari setengah abad yang
lalu diketahui bahwa kontak fisik antara kelompok-kelompok ras atau etnik yang
berbeda atau diantara anak-anak berkebutuhan khusus semata tidak cukup untuka
mengurangi prasangka dan stereotype.
Belajar kooperatif memberikan kesempatan
kepada siswa-siswa dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda untuk
bekerja secara interdependen pada tugas yang sama dan melalui penggunaan
struktur imbalan kooperatif, belajar untuk saling menghargai.
Tujuan ketiga yang penting adalah
mengajarkan keterampilan kolaborasi dan kerja sama kepada siswa.
Keterampilan-keterampilan semacam ini kritis di masyarakat dimana banyak
pekerjaan orang dewasa dilaksanakan dalam kerangka organisasi dan komunitas
yang semakin besar dan interdependen dengan orientasi yang semakin beragam
secara cultural dan semakin global. Belajar kooperatif meningkatkan kerja sama
karena menghargai dan mendukung perkembangan intelegensi personal.
Enam fase atau langkah utama yang terlibat
dalam pembelajaran yang menggunakan model belajar kooperatif adalah :
1. Pembelajaran dimulai dengan guru membahas
tujuan-tujuan pelajaran dan membangkitkan motivasi belajar siswa
2. Fase ini diiikuti oleh presentasi
informasi, seringkali dalam bentuk teks daripada ceramah
3. Siswa kemudian diorganisasikan menjadi
kelompok-kelompok belajar
4. Dalam langkah berikutnya siswa dibantu
guru, bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas interdependen
5. Fase-fase terakhir belajar kooperatif
termasuk presentasi hasil akhir kelompok atau menguji segala sesuatu yang sudah
dipelajari siswa
6. Memberi pengakuan pada usaha kelompok
maupun individu.
Cooperative Learning has 5 basic elements (Wikipedia) :
1. Positive Interdependence requires that
group members feel connected to each other in the process of accomplishing the
goal.
(Saling ketergantungan
positif mengharuskan anggota kelompok merasa terhubung satu sama lain dalam
proses mencapai tujuan)
Positive Interdependence encompasses 9 sub-categories:
a. goal - the expected outcome of the
activity
(Tujuan dengan hasil yang diharapkan dari
aktivitas)
b. incentive; the reason the group wishes to
complete the task
(Insentif ; alasan kelompok ingin
menyelesaikan tugas)
c. resource; the tools needed to complete the
task
(Sumber ; alat yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas)
d. role; roles assigned to students to ensure
each person contributes
(Wewenang ; peran yang diberikan kepada
siswa untuk memastikan setiap orang berkontribusi)
e. sequence; steps to completing the task
(Urutan ; langkah-langkah untuk
menyelesaikan tugas)
f.
simulation; the alternative mindset needed to complete the goal
(Simulasi ; pola pikir alternatif yang
diperlukan untuk menyelesaikan tujuan)
g. outside force; something limiting the time
or used as a driving force
(Kekuatan luar ; sesuatu yang membatasi
waktu atau digunakan sebagai penggerak)
h. environmental; that every group member is
in close proximity to one another
(Lingkungan ; bahwa setiap anggota kelompok
berada dekat satu sama lain)
i.
identity; that the group feels connected in one team.
(Identitas ; bahwa grup merasa terhubung
dalam satu tim)
2.
face-to-face
promotive interaction
3.
individual
and group accountability
4.
social
skills
5.
group
processing
IV. KESIMPULAN
Siswa merupakan suatu individu yang
bervariasi dengan berbagai tingkat kecerdasan dan kemampuan. Perbedaan metode
pembelajarqn adalah baik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa.
Kaena masing-masing siswa itu sendir banyak faktor yang mempengaruhi
diantaranya; bisa dari faktor keluarga, lingkungan, atau bahkan faktor genetik
dan sensorik motorik dari individu-individu tersebut. Oleh sebab itu para
pendidik sebaiknya cerdas dalam memilih metode dan melihat siswa dari berbagai
segi terutama kebutuhan belajar siswa.
Prestasi dapat ditentukan dari prosesnya,
bila proses yang dilakukan tepat dan benar maka prestasi akan meningkat bila
dilakukan dengan tidak benar maka akan terjadi penurunan. Penentuan proses
apakah yang harus dilakukan oleh mereka, itu merupakan tanggung jawab dan tugas
bagi para guru dan pendidik.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anita Woolfolk. 2009. Educational
Psychology : Active Learning Edition. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Edisi
kesepuluh. Cetakan pertama.
Made Wena. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif
Kontemporer. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Edisi pertama, cetakan kedua.
Muhammad Muhyidin. 2005. Kecerdasan Jiwa :
Rahasia memahami dan Maengobati Sakit dalam Jiwa. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Cetakan kedua.
Muhammad Usman Najati. 2001. Al-Qur’an dan
Psikologi. Jakarta. Aras Pustaka. Cetakan pertama.
Shafique Ali Khan. 2005. Filsafat
Pendidikan Al-Ghazali. Bandung. CV. Pustaka Setia.